Laman

Senin, 09 September 2013

Sore Yang Indah

Sore ini saya berangkat ke masjid Nurul Ashri setelah sekian lama menikmati liburan di rumah, terasa senang bisa mengunjungi masji ini karna saya sudah lama tidak bertemu sahabat – sahabat yang luar biasa, sahabat yang membuat kita semangat untuk terus belajar menambah ilmu. Setelah menikmati kajian sore, adzan maghrib pun berkumandang. Saya dan jamaah pun melaksanakan sholat maghrib berjamaah, ketika salam, sebelah kanan saya ada adik – adik kecil rumah tahfidz yang melaksanakan sholat berjama’ah. Melihat mereka membuat hatiku bahagia dan iri. Bahagia karna pada usia seperti ini mereka rajin untuk belajar Al – Qur’an, saya iri karna pada usia seperti mereka saya hanya bisa bermain kelereng, karet, sedangkan untuk belajar Al – Qur’an saya masih malas – malasan.
            Saya sekarang sudah dewasa, hafalan saya masih sedikit di bandingkan adik – adik kecil ini, hati ini terasa teriris – iris ketika memperhatikan muka – muka polos ini yang semangat belajar surat Cinta dariMu(Al – Qur’an). terima kasih Ya Allah hari ini hamba mendapatkan ilmu yang bermanfaat dariMu. semoga hamba masih diijinkan untuk menambah hafalan seperti adik – adik rumah tahfidz, Ya Allah istiqomahkanlah Hamba dan adik – adik dalam belajar surat cinta dariMu (al – Qur’an), Ya Allah sinarilah adik – adik dan saudara – saudara Hamba untuk belajar Al – Qur’an, Ya Allah kumpulkan hamba, orang tua, dan saudara – saudara di Jannahmu, jadikan Al – Qur’an sebagai penolong kami di alam kubur nanti.
                                                                                             KST, 10 september 2013

                                                                                                Pukul 03.55 Wib

Minggu, 23 Juni 2013

Menjaga, Menata, lalu Bercahaya

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan  menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥
Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya?
Ijinkan saya mengenang seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddinkarya Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau menggambarkan pada kita proses untuk menjadi  orang yang shadiq, orang yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut,

  1. Shidqun Niyah
Artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati.
  1. Shidqul ‘Azm
Artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.
  1. Shidqul Iltizam
Artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.
  1. Shidqul ‘Amaal
Artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan.
Nah, mari coba kita refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan. Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.
♥♥♥
                Apa kiat sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa. Mereka yang insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allah.
Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu:
  1. Persiapan Ruhiyah (Spiritual)
Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga.
  1. Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)
Bersiaplah menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.
  1. Persiapan Jasadiyah (Fisik)
Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.
  1. Persiapan Maaliyah (Material)
Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial #Nikah sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah, & kendaraan yang harus kita punya. Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, & kemampuan mengelola sejumlah apapun ia.
Maka memulai per nikahan, BUKAN soal apa kita sudah punya tabungan, rumah, & kendaraan. Ia soal kompetensi & kehendak baik menafkahi. Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.
Maka sesudah kompetensi & kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32). Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah & executable. JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.
Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan angka harapan hidup.

  1. Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial)
Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.

Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah?

Ya. Memang harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan.

                “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah bermampuBA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Hanya ada satu parameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalh penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni kemampuan jima’.

Maka, kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali. Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu.

Nah. Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya:

“Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Pernah di sebuha milis, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan ma’shiat.

Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi rizqi. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih.

Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang bertanggungjwab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada isteri yang Allah halalkan. Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini,
                 “Maka aku katakan kepada mereka: “Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”(Nuh 10-12)
Pernah membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur, syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita.
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13)
Begitulah. Selamat menyambut kawan sejati, sepenuh cinta.

Selasa, 18 Desember 2012

Surat Kecil untukmu, Ibu...

Teruntuk: Ibu (Sang Bidadari dalam hatiku)
Ibu taukah engkau hari-hari ku begitu terasa sunyi dan sepi, sering ku hibur hatiku yang sepi ini, namun seringkali pilu itu datang. Ibu...apa kabarmu disana, sudah lama kita tak jumpa dan tak bertegur sapa layaknya anak dan orang tua, ibu...aku merindukanmu, rindu dirimu yang dulu yang selalu ada saat tubuh ini butuh sebuah pundak untuk sejenak bersandar.
Ibu hari ini terlintas semua kenanganku bersamamu selama 22 tahun berlalu, namun banyak hal yang aku sadari selama ini aku belum bisa memberikan hal yang berarti untuk dirimu, bahkan aku belum bisa memberikan apa yang kau inginkan dariku, ibu...maafkan aku, namun sampai detik ini aku masih berjuang untuk semua hal yang menjadi mimpi kita selama ini.
Ibu...perlahan aku bisa berdiri tegar seperti yang kau ajarkan dan inginkan dariku  namun hati ini tetap rapuh jika aku ingat segala tentangmu, ibu...maafkan aku yang belum bisa memberikan apa yang engkau inginkan, maafkan anakmu ibu yang kadang lupa menanyakan kabarmu atau bahkan bertegur sapa denganmu, maafkan aku ibu jikalau aku belum bisa kembali ke pelukan dan buaianmu, kaki ini masih terus melangkah mencari dan mengejar apa yang kita harapkan.
Ibu...maafkan aku jika aku membuatmu menunggu terlalu lama untuk bersama menikmati kebahagian yang telah lama kita nanti, ibu akan aku pastikan aku akan kembali kepelukanmu, kembali bersamamu, kembali berada disisimu dan melihatmu senyum manismu. Ibu...aku tau walaupun tanpa ku minta doamu selalu mengalir untukku.
Ibu..lewat surat kecil yang aku tuliskan untukmu ini, aku ingin mengucapkan terima kasih banyak ibu, terima kasih atas cinta setulus hati yang kau berikan untukku, terima kasih atas kasih sayang yang selembut hatimu padaku, terima kasih atas segala pengorbanan dan kesabaranmu dalam menghadapiku, ucapan terima kasih bahkan semua harta yang ku miliki sekalipun mungkin tak mampu membayar semua pengorbananku, namun aku tau ibu...bukan itu yang kau harapkan, aku tau kau tak mengharapkan aku untuk membalas semua itu, cukup melihatku tersenyum bahagia dan menjadi pribadi yang jauh baik lagi, itulah yang membuatmu bahagia dan yang akan membuatmu tersenyum manis kepadaku.
Ibu semoga dengan seuntai kata yang aku tuliskan untukmu sedikitnya dapat mengurangi rasa rindumu terhadapku. Ibu...peluk ciumku untukmu...
Dari
Anakmu tersayang

Cara Mencegah Penyakit Cinta

Cinta adalah sebuah rahmat yang diberikan oleh Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada  setiap hambanya agar dapat menjalani hidup dengan baik penuh cinta dan kasih sayang kepada sesama, tapi cinta dapat pula menyebabkan seorang hamba menjadi  kecewa dan putus asa  karena tidak dapat meraih apa yang di cintainya.
Ada beberapa cara agar Cinta dapat terus bersinar dihati dan di jiwa kita sehingga cinta akan terpancar dari wajah dan seluruh kehidupan, tentu akan menjadikan hari-hari begitu indah sehingga tiada waktu yang tidak diisi dengan rasa cinta dan kasih sayang.
Sebelum kita sampai kepada cara mencegah penyakit cinta, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang  dianjurkan untuk kita cintai dan apa yang tidak boleh kita cintai, sehingga kita dapat terhindar dari penyakit cinta yang dapat membuat rasa putus asa dan kecewa.
Ada Empat yang Tidak Boleh Kita Cintai:
1. Cinta Terhadap Harta.
2. Cinta Terhadap Sesama Jenis
3. Cinta terhadap Istri/Suami orang lain.
4. Cinta Terhadap Perbuatan Buruk/Tercela.

Cinta Terhadap Harta
Bila anda termasuk yang sangat mencinta harta dan, mulailah anda merenung, apakah dengan mencintai harta akan bahagia, bukankah hidup ini hanya sementara, siapa yang berani menjamin kalau anda akan dapat hidup lagi di esok harinya.
Seperti Sabda Rasulullah Salallahu a’laihiwassalam: "Seandainya anak Adam memiliki satu lembah yang penuh dengan harta, pasti dia masih ingin memiliki yang sepertinya lagi. Sedangkan yang memenuhi diri anak adam itu hanyalah tanah (kubur) dan Allah mengampunkan atau menerima taubat orang yang ingin bertaubat (riwayat Ibnu Abbas r.a).
Firman Allah di dalam Al-qur’an surat Al-Anfaal ayat 28: “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya disisi Allah-lah pahala yang besar.

Cinta Terhadap Sesama Jenis
Semoga anda tidak termasuk yang mencintai terhadap sesama jenis bila anda telah terlanjur maka anda masih diberi kesempatan untuk bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Tahriim ayat 8:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia, sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan di sebelah kanan mereka sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Cinta terhadap sesama jenis ini sangat tidak disukai oleh Allah karena sangat berbahaya baik bagi kesehatan badan dan rohani, sehingga Allah mengabadikan di dalam Al-Qur’an bagaimana peringatan dan azab yang diberikan oleh kaum Luth yang tidak mau diperingatkan agar tidak melakukan hal yang sangat dilarang oleh Allah, terdapat di dalam Al-qur’an surat  Al-Ankabuut ayat 28 dan 29, juga dalam surat  Al-A’raaf ayat 81 dan 82 dan dalam surat An-Naml ayat 54-57.
Semoga kita dapat mengambil dari kisah-kisah orang yang terdahulu, dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah karena Allah sangat sayang kepada hambanya yang ingin bertaubat dan kembali padanya.

Cinta Terhadap istri/suami orang lain
Penyakit yang satu ini harus diwaspadai, karena selain dapat menyebabkan tidak mendapat ketenangan dalam hidup juga akan membawa dampak tidak baik bagi diri dan keluarga juga dilarang dalam agama, karena setiap suami dan istri dianjurkan untuk menjaga keluarganya dari hal-hal yang tidak baik.
Firman Allah di dalam Al-Qur’an surat Al-Israa’ ayat 32:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Semoga sebelum terlanjur kearah yang  salah maka hindarilah perselingkuhan sejak awal, sehingga hal-hal yang merugikan diri sendiri dan keluarga dapat dihindari.

Cinta Terhadap Perbuatan Buruk/Tercela
Cinta terhadap perbuatan buruk juga tidak baik, berusahalah untuk tidak menyukai perbuatan yang tercela, baik yang dilakukan oleh diri sendiri dan orang lain, jangan menyukai perbuatan tercela /tidak baik misalnya, seperti bergunjing, menyakiti perasaan orang lain, berzina.
Cinta terhadap perbuatan yang buruk dapat merugikan diri sendiri juga orang lain,  berusahalah untuk menyukai perbuatan-perbuatan yang baik.
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Fushillat ayat 33 s/d 35):
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri? Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah  telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar”.
Setelah kita mengetahui apa yang tidak boleh kita cintai dan cara mencegahnya, ada 5 hal yang sangat dianjurkan agar kita selalu Mencintai dan menjaga agar kelima cinta ini mewarnai kehidupan kita sehari-hari.
Ada Enam Hal yang Harus Kita Cintai:
1. Mencintai Allah Yang Maha Esa dengan sepenuh hati.
2. Mencintai Al-Qur’an dan Rasulullah Salallahua’laihiwassalam.
3. Mencintai Ilmu pengetahuan.
4. Mencintai kedua orang tua.
5. Mencintai  Sesama.
6. Mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.
Keenam cinta ini haruslah kita miliki karena dengan memiliki keenam cinta ini, kehidupan akan lebih bermakna, semoga kita dapat mencintai apa yang memang harus kita cintai dan selalu bersyukurlah kepada apa yang telah diberikan Allah yang Maha Pengasih kepada kita, sehingga kita dapat mengisi hari-hari dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Wassalam,
Hamba Allah,

Senin, 16 Januari 2012

Hikmah Membaca Alquran dari Seorang Kakek

  
Seorang muslim tua Amerika tinggal di sebuah perkebunan/area di sebelah timur Pegunungan Kentucky bersama cucu laki-lakinya. Setiap pagi Sang kakek bangun pagi dan duduk dekat perapian membaca Al-qur’an. Sang cucu ingin menjadi seperti kakeknya dan mencoba menirunya seperti yang disaksikannya setiap hari.Suatu hari ia bertanya pada kakeknya,

“ Kakek, aku coba membaca Al-Qur’an sepertimu tapi aku tak bisa memahaminya, dan walaupun ada sedikit yang aku pahami segera aku lupa begitu aku selesai membaca dan menutupnya. Jadi apa gunanya membaca Al-quran jika tak memahami artinya ?”

Sang kakek dengan tenang sambil meletakkan batu-batu di perapian, menjawab pertanyaan sang cucu,

“Cobalah ambil sebuah keranjang batu ini dan bawa ke sungai, dan bawakan aku kembali dengan sekeranjang air.”

Anak itu mengerjakan seperti yang diperintahkan kakeknya, tetapi semua air yang dibawa habis sebelum dia sampai di rumah. Kakek tersebut tertawa dan berkata,

“Kamu harus berusaha lebih cepat lain kali.”
Kakek itu meminta cucunya untuk kembali ke sungai bersama keranjangnya untuk mencoba lagi. Kali ini anak itu berlari lebih cepat, tapi lagi-lagi keranjangnya kosong sebelum sampai di rumah.Dengan terengah-engah dia mengatakan kepada kakeknya, tidak mungkin membawa sekeranjang air dan dia pergi untuk mencari sebuah ember untuk mengganti keranjangnya.Kakek berkata,

“Aku tidak ingin seember air, aku ingin sekeranjang air. Kamu harus mencoba lagi lebih keras. ”

dan dia pergi ke luar untuk menyaksikan cucunya mencoba lagi. Pada saat itu, anak itu tahu bahwa hal ini tidak mungkin, tapi dia ingin menunjukkan kepada kakeknya bahwa meskipun dia berlari secepat mungkin, air tetap akan habis sebelum sampai di rumah. Anak itu kembali mengambil dan mencelupkan keranjangnya ke sungai dan kemudian berusaha berlari secepat mungkin, tapi ketika sampai di depan kakeknya, keranjang itu kosong lagi. Dengan terengah-engah, ia berkata :

”Kakek, ini tidak ada gunanya. Sia-sia saja”.

Sang kakek menjawab :

“Nak, mengapa kamu berpikir ini tak ada gunanya?. Coba lihat dan perhatikan baik-baik keranjang itu.”

Anak itu memperhatikan keranjangnya dan baru ia menyadari bahwa keranjangnya nampak sangat berbeda. Keranjang itu telah berubah dari sebuah keranjang batu yang kotor, dan sekarang menjadi sebuah keranjang yang bersih, luar dan dalam. ”

Cucuku, apa yang terjadi ketika kamu membaca Qur’an? Boleh jadi kamu tidak mengerti ataupun tak memahami sama sekali, tapi ketika kamu membacanya, tanpa kamu menyadari kamu akan berubah, luar dan dalam.

*Setelah membaca kisah ini semoga kita makin semangat dalam membaca dan mempelajari Alqur'an :)

Ibu, Aku Ingin Surga

Kulangkahkan kaki menuju ke masjid dekat rumah, dimana anak-anak usia 5-12 tahun belajar Al-Qur’an pada jam empat sore, setiap Sabtu dan Minggu. Hari ini anak-anak telah kehilangan satu ustadzah yang biasanya mengajari mereka membaca Al-Qur’an dan juga sahabat karibku yang selalu bersemangat membimbing mereka. Aku berharap mereka tetap bersemangat walau ustadzah yang mereka sayangi telah berpulang ke Rahmatullah menghadap Sang Pencipta. Alhamdulillah ternyata mereka tetap hadir seperti biasanya, kuucapkan salam, walau di hati apakah aku mampu untuk  sementara menggantikan guru mereka yang sangat fasih melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, sampai ustadzah yang lain datang menggantikan posisi sahabat karibku.
Aku pun mulai dengan do’a pembukaan majelis, dan mulai mengajari satu persatu anak-anak, sampai  di akhir pelajaran, aku pun berpesan, agar mereka tetap rajin belajar, berdo’a, selalu mempelajari   Al-Qur’an dengan baik dan rajin sholat ke masjid untuk berjamaah, karena Allah akan memberikan surga kepada orang yang selalu menuruti perintah Allah. Mereka pun mendengarkan dengan seksama. Akhir pelajaran kututup dengan membaca asmaul husna bersama-sama dan diakhiri dengan do’a penutup majelis.
Suara azan magrib mulai memanggil hamba-hambaNya untuk sholat berjamaah di masjid, akupun bergegas untuk sholat berjamaah bersama keluarga menuju masjid. Sesampai di masjid aku terkejut juga senang, karena anak-anak yang tadi sore belajar denganku beramai-ramai sholat ke masjid. Aku cuma berpikir mungkin karena besok hari Minggu dan sekarang juga lagi liburan sekolah, yah mungkin mereka jadi rajin.
Setelah selesai sholat seorang anak mendekatiku, sambil menyalami tanganku, dan berkata perlahan. "Ibu, aku ingin surga,” aku tersenyum juga kaget.
Dia pun melanjutkan perkataannya, “Ibu, kami habis sholat mau belajar membaca Al-Qur’an sampai menjelang sholat Isya' biar Allah memberikan surga kepada kami.”
Aku tak kuasa menahan haru, tak terasa mataku basah oleh air mata. Ya Allah, ternyata mereka memperhatikan kalimat-kalimat yang kuucapkan sore tadi: “Allah akan memberikan surga kepada orang yang rajin sholat, membaca Al-Qur’an dan yang selalu menuruti perintahNya.”
Aku pun membatalkan untuk pulang ke rumah di malam minggu ini. Menjelang isya aku bersama anak-anak melantunkan surat terindah Mu yaitu Al-Quran yang memberikan kelembutan hati bagi orang-orang yang selalu membaca dan mengamalkannya.

Selasa, 10 Januari 2012

Cerpen Pendidikan: Sekolahku di Pedalaman

Sudah lima tahun aku belajar di sekolah “Budi Makmur” ini. Sekolahku berada di daerah pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas. Dindingnya terbuat dari papan dan kulit kayu. Sementara atapnya terbuat dari daun sagu, atau sering disebut daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan yang dibuat memanjang. Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasku. Se-kolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam kelasku hingga menjadi becek.

Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat orang murid di kelasku. Sedangkan guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang. Pak Nantan dan Pak Kurna, mengajar dari kelas satu sampai kelas enam.

Dalam belajar, kami dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan misalnya, kami sering mengerjakan dan memecahkannya bersama-sama, dan tidak malu-malu bertanya kalau tidak paham. Kami dan guru terlihat sangat akrab sekali!

Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik sepeda ontel. Sedangkan Rizal, temanku, ikut dengan Pak Kurna. Kami sering dibonceng seperti ini karena rumah kami berdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo meter. Jam enam pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki melewati jalan setapak dan hutan belantara.

“Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang ikut?” tanyaku.

“Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah menipis. Besok kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing di sungai!” janji Pak Nantan.
Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus memanjat kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan. Karena dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Pak Nantan tak menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Nantan hanya tamat SMP. Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf dan pandai berhitung memang patut diacungi jempol.

Setahun yang lalu ada dua orang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke kampungku. Betapa gembiranya aku waktu itu. Aku berharap kehadiaran mereka bisa memberikan kemajuan bagi sekolahku. Namun harapanku itu kemudian pupus. Sebulan mengajar, mereka hanya empat kali datang ke sekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak pernah datang-datang lagi ke sekolah. Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan kampungku yang terpelosok jauh berada di pedalaman.

Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. “Apa cita-citamu, Jang?”

“Aku ingin jadi seperti Bapak!” jawabku mantap.

“Menjadi guru?” Pak Nantan ter-senyum.

Aku mengangguk, “Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin semua orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa membaca dan berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini mejadi lebih maju!”

Mata Pak Nantan tampak berkaca-kaca mendengar penuturanku. “Pendidikan di kampung ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di kampung ini. Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang membatu orang tua mereka dari pada pergi ke sekolah.”

Air mataku menetes. Aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bisa membimbingku belajar dan mengerjakan PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tidak pandai membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Emak memintaku untuk mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Wah… Bagaimana mungkin? Apa aku bisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku pun mengajari orang tuaku membaca, menulis dan berhitung.

“Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah dan Emakmu membaca, menulis dan berhitung,” ujar Abah memujiku.

“Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh lagi. Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja,” kata Emak lalu mencium kepalaku.

“Terima kasih,” ucapku terharu. “Ini juga berkat Abah dan Emak yang mau menyekolahkanku hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah, hehe…”
Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang dan cinta.
Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin semua orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung. Doakan aku, ya, teman-teman!***

Sebuah cerpen pendidikan oleh:
Surya Ismail
Mahasiswa Bahasa Inggris
UIN Suska Riau